RSS

Cerpen "Derai Hujan"

Derai Hujan


Musim hujan telah mengusir panas matahari. Air hujan yang tiap hari tiada absen mengguyur kota Yogyakarta. Seakan tak memberi ijin kepada sang surya untuk menampakkan diri. Mendung sebagai pertanda akan turunnya hujan, tak dapat diperkirakan datangnya. Layaknya saat ini. Sekitar pukul 13.00 WIB ketika aku selesai kuliah, hujan datang bukan pada waktu yang tepat. Aku masih berdiri di depan kampus menunggu hujan reda. Terlihat beberapa mahasiswa entah dari fakultas apa tengah berlarian menerjang hujan.
Hujan turun sangat derasnya. Seakan tak memberikan kesempatan untukku pulang. Ku tengok jam tanganku. Jarumnya berada di posisi angka 2. Sudah satu jam aku menunggu. Aku menghela nafas. Sungguh membosankan.
“Udah lama ?”
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Seorang cowok yang tak ku kenal duduk di sampingku.
“Ya lumayan. Udah satu jam nunggu.”
Ia manggut-manggut. Kami terdiam. Sibuk dengan lamunan masing-masing. Tiba-tiba ia angkat bicara.
“Anak apa ?”
“Manusia.” Jawabku enteng.
Ia tersenyum. Geli mendengar jawabanku. “Anak jurusan apa ?” tanyanya meralat.
“Sastra Indonesia.”
“Pantes.”
“Apanya ?” aku tak mengerti.
“Pertanyaanku diralat.”
“Ooo .. hehe, pertanyaanmu kan emang kurang tepat.”
“Ya ya ya … “
“Kamu jurusan apa ?”
Ia menoleh ke arahku. Senyumnya mengembang. Lalu kembali menatap hujan. “Akuntansi.” Jawabnya.
Aku manggut-manggut. Keren juga nih akuntansi. Pikirku. Saat SMA aku suka sama akuntansi, tapi tak berminat untuk mengejarnya sampai bangku kuliah. Karena aku lemah dalam hitung-menghitung.
            “Kamu Pia kan ?”
            Aku terkejut. Kok dia bisa tau ? kita kenal aja nggak. “Iya, kok tau ?”
            “Ya tau aja. Asal Banyuwangi kan ?”
            “Iya.” Membuatku semakin heran.
            “Ternyata kamu orangnya nggak merhatiin orang sekitar ya.”
            “Maksudnya ?” aku semakin tak mengerti.
            “Aku juga dari Banyuwangi kali Pi.” Aku terlonjak kaget. Sepertinya dia merasakan keterkejutanku. “Baru tau kan ?” tanyanya.
            “Eemm .. iya. Maaf aku orangnya emang agak cuek gini.” Aku merasa tak enak.
            “Bukan cuek, tapi nggak ngurusin orang.”
            Aku tersenyum kecut. Dan mencoba menetralkan sikapku. “Eemm … ngomong-ngomong Banyuwangi mana ?”
            “Kota. Kamu ?”
            “Desa Cluring. Oo .. Anak kota.”
            “Biasa aja kali. Kan anak BWI juga.”
            “Bener..bener. Namamu siapa ? maaf nggak tau lagi.” Aku tersipu malu.
            Ia tersenyum. “Aku Danny.” Tangannya terulur di depanku. Tanpa pikir panjang aku langsung menyambutnya. “Kalau mau pulkam bareng aku aja Pi. Kamu kan cewek takutnya kenapa-kenapa. Kita kan merantau di sini.”
            “Oke. Makasih tawarannya.” Kami saling melempar senyum.
            Kembali kami terdiam. Menikmati derai hujan. Cacing di perutku sudah berdemo dari tadi. Demo untuk diasupi makanan. Tadi nggak sempat sarapan. Tanganku memegangi perut, agar Danny tak mendengar dentuman perutku. Tapi aku salah. Ia malah menyadarinya.
            “Laper Pi ?”
            Aku tersenyum malu. “Lumayan.”
            Ia tiba-tiba bangkit dan meraih tanganku. “Ke mana ?” tanyaku.
            “Udah ikut aja.”
            Tanpa banyak tanya aku mengikuti langkahnya. Berjalan menyusuri area parkiran motor. Berlari kecil menerjang rintik hujan. Menuju warung bakso di depan kampus.
            “Bakso dua Pak !!” pesannya pada tukang abang bakso. Kami pun duduk di bangku warung berdampingan. “Teh anget dua !!” imbuhnya.
            Aku mengusap lengan dan rambutku yang basah. Beberapa menit kemudian pesanan kami datang.
            “Suwun Pak.” Ucapnya. Tampaknya ia akrab dengan abang bakso itu.
            “Oke mas. Cewek baru mas ?” Tanya si Abang.
            “Ora Pak. Namanya Pia. Teko Banyuwangi pisan.”
            “Wuihh, hai Mbak Pia !! kenalno aku Misno, aku wong Banyuwangi pisan Mbak.”
            Aku menyalami Pak Misno. Seraya tersenyum.
            “Monggo didhahar !”
            “Enggeh Pak.” Jawab kami serempak.
            “Ternyata nggak sendiri aku di sini, haha .. “
            Danny tersenyum manis banget. “Minum tehnya dulu Pi, biar nggak kaget perutmu.”
            Aku merasa sangat diperhatikan. Danny orangnya pengertian. Entah aku merasa sangat nyaman sekarang. Usai meneguk teh anget, kami pun langsung melahap bakso. Walaupun aku sangat lapar, tapi aku harus sedikit jaim di depan Danny. Aku nggak mau ia merasa ilfil denganku. Baru aja kenal.
            Hujan mulai reda. Mangkuk bakso pun sudah licin tanpa sisa. Danny memaksa untuk membayarnya. Sebagai gantinya aku harus menraktirnya makan lain kali. Itu cukup adil. Jadi aku nggak merasa nggak enak padanya.
            “Tunggu sini dulu ya Pi.”
            “Kamu mau ke mana Dan ?”
            “Bentar kok. Tunggu sini aja.” Ia langsung berlari menuju kampus. Entah apa yang dilakukannya. Aku tetap duduk di warung.
            “Akhirnya ketemu juga kalian.” Pak Misno tiba-tiba angkat bicara.
            “Maksud Bapak ?”
            “Iyaa, akhirnya Mas Danny dan Mbak Pia bisa ketemu.”
            Aku terdiam. Mencerna maksud dari kata-kata Pak Misno. Pak Misno menyadari kebingunganku. Lalu ia melanjutkan.
            “Mas Danny sudah tau Mbak Pia dari ospek kemarin Mbak. Tapi dia hanya melihat Mbak Pia dari kejauhan. Nggak berani deketin. Tiap pulang ngampus, mesti mampir di warung menunggu Mbak Pia pulang. Kalau Mbak Pia udah keluar dari kampus, baru dia pulang juga.”
            Aku terpana dengan cerita Pak Misno. Nggak menyangka dari awal masuk kampus ini Danny sudah mengenalku.
            “Sejak kapan Danny tau kalau aku dari BWI Pak ?”
            “Dari awal Mbak. Dari pendaftaran ulang iku. Tapi pas iku Mas Danny belum tau Mbak Pia. Cuma tau nama Mbak Pia.”
            Tiba-tiba terdengar suara klakson. Aku langsung berdiri dan melihat keluar. Terlihat Danny  duduk di atas motornya.
            “Pulang yuk. Udah terang nih.” Ajaknya.
            Aku tetap berdiri mematung. Memikirkan setiap omongan Pak Misno.
            “Tenang aja. Aku anter sampek depan kosmu, atau perlu sampek depan pintu kamarmu.” Senyum manis terukir di bibirnya. Matanya memancarkan kegembiraan.
            “Udah, naik aja Mbak. Jarang-jarang Mas Danny mau nganterin cewek pulang.” Bujuk Pak Misno.
            “Oohh iya Pak. Pulang dulu ya.” Pamitku.
            “Monggo-monggo.” Jawab Pak Misno ramah.
            Aku naik ke boncengan motor. Pak Misno dan Danny saling menunjukkan jempol.
            “Ati-ati Mas ! ojo ngebut-ngebut ! mesakne Mbak Pia mengko !” pesan Pak Misno.
            “Siipp Boss !!” jawab Danny seraya memberikan sebuah helm padaku.
            Setelah berpamitan, Danny mulai menjalankan motornya.
            “Mudah-mudahan kalian berjodoh.” Doa Pak Misno.
            Motor melaju menyusuri jalanan yang basah. Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Telingaku tetap terngiang kata-kata Pak Misno. Seorang cowok yang baru kukenal ternyata sudah jauh mengenalku. Seorang cowok dari kampung halaman yang sama sudah memperhatikanku dari dulu. Dan aku, sama sekali tak merasakannya. Tiba-tiba jantungku berdetak tak seperti biasanya. Debar ini sudah lama tak kurasakan.
            Motor berhenti tepat di depan kosku. Danny juga sudah tau tempat kosku. Waow .. apa dia pernah menguntitku sampai ke kosan ? jelas iya. Kalau enggak mana mungkin dia tau aku kos di mana. Aku segera turun dari motor. Dan mengembalikan helmnya.
            “Makasih ya Dan. Nggak mampir dulu ?”
            “Nggak deh Pi, keburu ujan lagi. Pulang dulu ya ?”
            “Iyaa, hati-hati Dan.”
            “Siip !”
            Motornya mulai melaju. Meninggalkanku yang masih berdiri terpaku. Aku terus menatapnya sampai hilang ditelan belokan. Danny merasakan hatinya senang luar biasa. Berbulan-bulan ia hanya bisa melihatku dari kejauhan. Tanpa bisa mendekatinya. Ia tak punya cukup nyali saat itu.
            Entah kebetulan atau apa, saat usai ngampus ia melihatku duduk di depan kampus menunggu hujan reda. Ia telah berada di belakangku selama satu jam. Sejak awal aku duduk di sana menunggu hujan reda. Tapi ia baru punya nyali setelah satu jam menatap punggungku. Ia juga merasakan debaran dalam jantungnya. Debaran yang selalu muncul saat melihatku.
            Senyum terus mengembang di sepanjang jalan menuju rumahnya. Tiba-tiba ia merasakan getaran dalam saku jaketnya. Ponselnya bergetar. Ia menepikan motornya. Ternyata ada sms masuk. Tertera sebuah nama di layar ponselnya. Nama yang tak asing.
            “Pia ??” gumamnya agak terkejut. Ia langsung membuka pesanku.

Terima kasih tumpangannya Dan, terima kasih baksonya, terima kasih
teh angetnya, terima kasih buat hari ini. Dan terima kasih sudah
memperhatikanku selama ini. J

“Pak Misno.” Gumamnya.
            Danny telah mengetahui nomer ponselku dari dulu. Tapi ia tak punya keberanian untuk menghubungiku. Entah darimana ia mendapatkannya. Aku tau nomer ponselnya dari Pak Misno saat di warung tadi. Tanpa aku meminta, Pak Misno memberikanku secarik kertas bertuliskan sejumlah nomor.
Derai hujan ini mempertemukanku dengannya. Derai hujan yang selalu membuatku menunggu. Membuatku jengkel. Kini derai hujan itu memberikan warna. Warna yang hanya kumiliki. Mungkin juga milik Danny.



Oleh : Ovi Ayuning Tyas
Sekolah : SMAN I GENTENG
Alamat : Dsn. Karangrejo Rt 01/Rw 01,
Cluring, Banyuwangi, Jatim


               



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerpen "Bungaku Mekar Kembali"


Bungaku Mekar Kembali

            Sinar matahari menerobos celah-celah kamarku. Matahari perlahan-lahan mengibarkan cahayanya. Udara pagi yang sejuk menemani langkahku. Sengaja aku berangkat kerja hari ini pagi-pagi. Ku ingin menikmati nasi pecel. Menu andalan sarapan saat masih duduk di bangku SMA. Warung nasi pecel terletak di pertigaan dekat kantorku.
            Warung nasi pecel itu sudah banyak pembeli ketika aku sampai. Banyak sopir angkot, pegawai maupun anak SMA tengah mengantri. Aku tersenyum melihat segerombolan anak SMA itu. Berada di sini membuatku benar-benar bernostalgia ke masa SMA. Rasa rinduku akan masa itu kembali membayangiku.
            “Eee Mbak Vilanda, monggo mbak duduk dulu.” Sapa Bu Mar, pemilik warung membuyarkan lamunanku. Aku terperangah.
            “O iya Bu.” Jawabku seraya tersenyum. Ku pilih meja kosong di sudut warung. Sebuah suara milik seorang pria melontarkan namaku.
            “Vilanda ??” panggilnya.
            Aku menoleh. Ada nada keraguan dalam suaranya. Mungkin ia kurang yakin aku benar yang ia kenal atau bukan. “Iya..??” jawabku penuh tanda Tanya. Aku tak merasa mengenalnya.
            “Wooii.. lupa sama aku ?” ia langsung duduk di depanku. Senyum menghiasi wajahnya. Keningku berkerut, mencoba mengingat.
            “Ya Allah, Ryan…??!!”
            “Iyalah siapa lagi.. hahaha...!!!” Kami pun tertawa lebar.
            Ingatanku kembali bernostalgia ke masa SMA. Kami dulu satu SMP dan SMA. Kami mulai akrab saat kelas 3 SMP. Sejak kelas 2 SMA kami tak seakrab dulu karena beda jurusan. Ia ambil IPA sedangkan aku memilih IPS. Ia cukup populer di sekolah. Semua warga sekolah pasti mengenalnya. Ia salah satu siswa 10 besar terbaik di sekolah. Ia cukup bandel. Namun, aku tak mengerti kenapa dia yang menanam bunga di hati ini. Bunga yang saat itu pertama kali tumbuh. Bunga ini hanya indah di hatiku, tidak pula di hatinya. Ia jelas tak tau adanya bunga ini. Sekian tahun tak bertemu, kini bungaku mekar kembali.
            “Ngapain di sini Vi ? Kangen sama pecel ?” tanyanya.
            “Iya Ri.”
            Ia kembali tertawa. Hatiku mengatakan terpancar kebahagiaan di wajahnya. Layaknya diriku.
            “Ketawa mulu kamu Ri. Kamu sendiri kangen juga sama pecel ?”
            “Iya nih, langsung inget saat SMA ngliat anak-anak itu.” Pandangannya tertuju pada segerombolan anak SMA yang ku perhatikan tadi.
            “Hahaha..iya Ri. Tadi aku juga langsung inget saat SMA. Yaa itung-itung bernostalgialah.”
            “Bener..bener.. Emang udah lama kita lulus SMA. Eem.. kerja di mana sekarang Vi ?”
            “Di Perusahaan Surya. Kamu ?”
            “Kalau aku yaa…kerja di perusahaan bokap.”
            “Enak dong…”
            “Enak apanya Vi ? Nggak bebas. Semua yang ku lakuin harus bisa jaga nama baik keluarga. Aku pengen jadi diriku sendiri tanpa embel-embel nama keluarga.”
            Bu Mar datang membawa pesanan kami. Sambil menikmati nasi pecel kami mengobrol. Sesekali menyinggung teman-teman SMA. Tak kusangka dapat bertemu Ryan. Putra dari pengusaha kaya, Aswin Handoko. Sedangkan aku lahir dari keluarga sederhana. Tapi aku salut padanya, ia tak pernah pandang bulu berteman. Malah aku yang kadang merasa minder.
            “Keliatannya ada yang berubah deh.” Katanya.
            “Apanya ?”
            “Kamunya.”
            Aku langsung menatapnya. “Kenapa aku ?”
            “Makin cantik.”
            Deg. Aku tercekat. Jantungku berdetak cepat. Ia bilang aku cantik ? Nggak salah denger ?! “Berarti dulu jelek dong ?” Aku mencoba berkelakar. Mencoba bersikap biasa.
            “Ya nggak gitu Vi. Kan aku bilangnya makin cantik. Dulu waktu SMA kan kamu gendut. Rambur selalu dikuncir. Sekarang…” Matanya tajam menatap diriku.
            Aku rishi dilihat begitu. “Eh matanya Ri ! Nggak usah kumat gitu deh.”
            Ia malah tertawa lebar. “Masih inget aja kamu Vi. Penyakit lamaku.”
            “Sampai sekarang masih tuh Ri ? Jorok tau !”
            “Eits jangan salah Vi ! ya jelas udah ilang lah. Kalau nggak ilang, mana mau kamu sama aku.” Aku terkejut mendengar ucapannya. Ku tatap matanya. Ryan malah ganti menatapku sambil tersenyum.
            Waktu terasa cepat berputar. Hingga tak ku sadari jam telah menunjukkan pukul 08.00 WIB.
            “Ya Allah, Ri ! Udah jam 08.00.” Aku segera bangkit dari dudukku.
            “Ya terus kenapa ?”
            “Ya aku harus berangkat ngantor Ryan.”
            “Di sini ajalah Vi. Kan belum kelar ngobrolnya.” Tangannya menggapai lenganku.
            “Kamu kira aku kerja di perusahaan nenek moyangmu apa ! Ya nggak bisa dong Ri. Aku pergi dulu ya..”
            “Aku anter ke kantormu ya..?”
            “Nggak usah deh. Deket kok dari sini.”
            “Udah deh, nurut aja.” Ia langsung menggenggam tanganku menuju mobilnya.
Aku berjalan mengikutinya. Hati ini semakin tak karuan. Detaknya pun semakin nyaring kurasakan. Pipiku memanas. Pasti merah, pikirku. Semoga saja dia tak menyadari perubahan di wajahku. Tapi kuharap dia menyadari mekarnya lagi bunga di hatiku. Bunga yang kujaga selama ini. Bunga cinta untuknya.






Oleh : Ovi Ayuning Tyas
Sekolah : SMAN I GENTENG
Alamat : Dsn. Karangrejo Rt 01/Rw 01,
Cluring, Banyuwangi, Jatim

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS